ST Francis Luck Now – SPMB Jabodetabek 2025 telah resmi dibuka dan menjadi harapan bagi ribuan calon siswa yang ingin masuk sekolah negeri di wilayah ibu kota dan sekitarnya. Namun sayangnya, sejak hari pertama pembukaan, proses ini langsung diwarnai berbagai masalah. Mulai dari kendala teknis pada sistem pendaftaran daring hingga minimnya sosialisasi kepada orang tua murid, membuat pelaksanaan SPMB tahun ini terasa jauh dari kata ideal. Banyak orang tua datang ke posko bantuan karena kesulitan mengakses portal dan memahami cara kerja sistem digital yang digunakan. Beberapa bahkan baru memulai pendaftaran di hari terakhir akibat kurangnya informasi yang disampaikan sebelumnya. Harapan untuk proses yang efisien dan adil pun perlahan tercoreng oleh persoalan-persoalan yang seharusnya bisa diantisipasi lebih awal. Situasi ini menjadi refleksi penting akan perlunya pembenahan sistem pendidikan yang inklusif, informatif, dan tidak menyulitkan masyarakat.
Dalam pelaksanaan SPMB Jabodetabek 2025, isu serius terkait dugaan kecurangan kembali menyeruak ke permukaan. Salah satu sorotan utama adalah praktik jual beli kursi yang diduga terjadi di wilayah Banten. Kasus ini mencuat setelah beredarnya memo dari pejabat daerah yang meminta rekomendasi masuk bagi seorang siswa. Dugaan adanya kursi titipan semakin diperkuat oleh pernyataan dari pejabat Kementerian Pendidikan yang mengakui bahwa tindakan tersebut telah mendapatkan teguran internal. Selain itu, laporan pungutan liar yang dilakukan saat proses pendaftaran dan verifikasi data juga mulai banyak bermunculan. Ombudsman Republik Indonesia bahkan telah turun tangan melakukan pengawasan menyeluruh terhadap praktik pungli dan biaya tidak wajar yang dibebankan kepada orang tua siswa. Kebutuhan akan sistem penerimaan yang transparan dan akuntabel semakin mendesak di tengah sorotan publik yang terus meningkat terhadap integritas proses seleksi ini.
“Baca juga: LitUp dan BookTok: Harapan Baru di Tengah Krisis Literasi”
Banyak orang tua siswa merasa kesulitan saat mengikuti proses pendaftaran akibat kurangnya sosialisasi dari pihak sekolah maupun dinas pendidikan. Seperti dialami oleh seorang ibu di Jakarta Selatan yang datang ke posko bantuan dalam kondisi bingung membawa banyak dokumen. Ia mengaku tidak tahu sama sekali cara menggunakan sistem daring dan baru membuat akun pada hari terakhir pendaftaran. Situasi serupa juga dialami oleh banyak wali murid lainnya, yang pada akhirnya terpaksa meminta bantuan langsung di posko agar tidak kehilangan kesempatan mendaftar. Minimnya panduan praktis serta pendekatan personal dari penyelenggara dianggap sebagai kekurangan fatal yang merugikan banyak calon peserta. Tidak semua orang tua memahami sistem digital, apalagi jika informasi yang tersedia sangat terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa kesiapan teknis belum dibarengi dengan kesiapan sosial dalam implementasi sistem daring secara menyeluruh pada penerimaan siswa baru tahun ini.
Gangguan teknis pada portal pendaftaran menjadi keluhan besar saat penerimaan murid baru di Jabodetabek. Banyak orang tua mengeluhkan portal sulit diakses sejak hari pertama pendaftaran dibuka. Masalah umum yang muncul adalah gagal login, situs lambat, dan akun peserta yang terputus tiba-tiba. Seorang orang tua mengaku mencoba berkali-kali namun tetap gagal mengakses akun miliknya. Akhirnya ia memutuskan datang langsung ke posko bantuan pendaftaran untuk meminta pertolongan. Di Depok, portal sempat error selama dua hari penuh tanpa ada perbaikan yang jelas. Dokumen yang sudah diunggah tidak segera diverifikasi oleh sistem pusat pendaftaran daring. Kondisi ini menimbulkan kecemasan orang tua akan hilangnya peluang masuk sekolah negeri. Masalah tersebut menunjukkan sistem digital belum sepenuhnya siap digunakan secara massal. Padahal, sistem ini seharusnya menjadi solusi, bukan menambah beban dan ketidakpastian masyarakat.
“Simak juga: Naik Jabatan Tanpa S2: Mungkinkah?”
Persoalan lain yang muncul dalam pelaksanaan SPMB kali ini adalah terkait dengan verifikasi data pada Kartu Keluarga. Banyak calon siswa ditolak sistem hanya karena data di KK dianggap tidak sesuai, meskipun mereka telah tinggal di alamat tersebut selama bertahun-tahun. Salah satu kasus dialami oleh seorang warga Jatinegara yang tidak bisa melanjutkan pendaftaran karena perubahan alamat akibat penggusuran. Walau perpindahan hanya berbeda RT dan RW, sistem tetap menolaknya. Ia kemudian diarahkan untuk melapor ke posko dan diminta mengisi ulang data dengan mencantumkan dua alamat berbeda. Masalah ini memperlihatkan lemahnya fleksibilitas sistem dalam menghadapi dinamika sosial masyarakat yang nyata. Data kependudukan seharusnya bisa diintegrasikan lebih baik, sehingga proses seleksi tidak terhambat hanya karena perbedaan teknis yang sebenarnya bisa diatasi. Jika tidak segera diperbaiki, hal ini akan terus menjadi hambatan tahunan yang mengganggu proses penerimaan siswa baru.