ST Francis Luck Now – Kepala Staf Medis Psikiatri RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Prof. Dr. dr. Tjhin Wiguna, SpKJ(K). Ia menyampaikan bahwa lingkungan psikososial yang permisif di rumah atau sekolah bisa menjadi pemicu kenakalan anak. Bahkan berujung pada perilaku perundungan. Lingkungan yang kurang tegas dalam memberi batasan dan disiplin sering kali membuat anak merasa tidak ada konsekuensi untuk perbuatannya. Sehingga mereka merasa bebas untuk bertindak sesuka hati. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan permisif, baik di rumah maupun di sekolah. Cenderung menganggap bahwa berbuat nakal atau merugikan orang lain tidaklah salah. Apabila hal ini terus dibiarkan, anak-anak tersebut bisa meniru perilaku buruk itu dan mengekspresikannya pada orang lain. Tanpa merasa ada yang perlu dipertanggungjawabkan.
Prof. Tjhin juga menjelaskan bahwa anak yang terlibat dalam perundungan sering kali memiliki sifat yang lebih nakal atau nekat. Dan dalam beberapa kasus, mereka mungkin memiliki kecenderungan tertentu, seperti hiperaktif. Anak dengan gangguan ini mungkin kesulitan mengendalikan impuls atau tingkah laku, misalnya, mereka bisa saja bertindak agresif atau mengganggu teman-temannya. Kurangnya pengawasan atau pendisiplinan yang konsisten dari orang tua atau pengajar menyebabkan anak merasa lebih kuat dan berani melakukan perundungan tanpa takut akan adanya konsekuensi. Dalam banyak kasus, pelaku bullying ini beranggapan bahwa mereka berada di posisi yang lebih unggul daripada korban.
Selain itu, pengalaman masa kecil yang buruk, seperti menjadi korban perundungan, dapat memengaruhi perkembangan perilaku anak saat dewasa. Seseorang yang dulunya pernah mengalami perundungan berisiko besar untuk mengulang perilaku tersebut ketika tumbuh dewasa. Mereka mungkin merasa perlu untuk menekan atau mendominasi orang lain, sebagai cara untuk menanggapi trauma yang pernah mereka alami. Oleh karena itu, penting untuk memberikan perhatian khusus kepada anak-anak yang pernah menjadi korban bullying. Agar mereka tidak melanjutkan siklus kekerasan ini.
Anak-anak dengan gangguan mental atau perilaku tertentu, seperti ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) atau gangguan impulsif lainnya. Juga berisiko menjadi korban maupun pelaku perundungan. Karena mereka sering kali tidak bisa mengontrol perilaku mereka, seperti berbicara tanpa henti atau mendorong teman-temannya, mereka bisa menjadi target bullying. Di sisi lain, anak-anak dengan gangguan ini juga bisa berperilaku agresif, yang menyebabkan mereka terlibat dalam tindakan perundungan terhadap teman-temannya. Dalam kasus seperti ini, sangat penting untuk memberikan konseling atau intervensi profesional agar anak memahami perasaan dan cara untuk mengontrol impuls mereka.
Dampak dari perundungan tidaklah ringan. Korban bullying seringkali mengalami gangguan emosional, perilaku, dan bahkan gangguan mental yang lebih serius, seperti kecemasan, depresi, atau rasa putus asa. Hal ini bisa berdampak negatif pada perkembangan sosial dan akademis mereka. Anak yang mengalami bullying cenderung merasa terisolasi dan kesulitan untuk berinteraksi dengan teman-temannya, yang berimbas pada kegagalan dalam belajar dan beradaptasi dengan lingkungan sekolah.
Prof. Tjhin menambahkan bahwa meskipun belum ada penelitian yang cukup untuk memastikan apakah pelaku perundungan bisa sepenuhnya sembuh atau tidak mengulang perilakunya, dukungan dari keluarga dan lingkungan sekolah sangat penting. Anak yang menjadi pelaku maupun korban perundungan perlu mendapat perhatian khusus, baik dari orang tua maupun pengajar. Peran pengajar sangat vital dalam menciptakan lingkungan yang mendukung bagi siswa, serta memberikan arahan kepada anak-anak yang terlibat dalam perundungan agar mereka bisa berkembang dengan lebih sehat secara emosional dan sosial.
Terakhir, Prof. Tjhin menekankan pentingnya adanya dukungan sosial dari teman-teman sekelas bagi anak-anak yang menjadi korban bullying. Tanpa adanya dukungan tersebut, anak yang mengalami perundungan bisa merasa lebih tertekan dan tidak memiliki harapan untuk perubahan. Oleh karena itu, lingkungan yang mendukung, baik dari sisi keluarga, teman, maupun sekolah, sangat diperlukan untuk menciptakan suasana yang lebih aman dan nyaman bagi anak-anak.