ST Francis Luck Now – LitUp dan BookTok menjadi simbol harapan baru dalam menghadapi krisis literasi yang tengah melanda Inggris. Riset terbaru dari UK National Literacy Trust menunjukkan bahwa minat membaca anak usia 8 hingga 18 tahun berada di titik terendah selama dua dekade terakhir. Sebagian besar siswa lebih memilih menghabiskan waktu dengan game dan konten visual digital dibandingkan buku cetak. Di tengah situasi ini, munculnya program seperti LitUp di Hastings menjadi inisiatif penting dalam memulihkan minat baca. Melalui pendekatan yang bersifat inklusif seperti pelibatan penulis, distribusi buku gratis, dan dukungan aktif dari keluarga, semangat membaca kembali ditumbuhkan. Sementara itu, platform digital seperti BookTok mengubah wajah literasi modern. Video singkat yang membahas ulasan buku, kutipan inspiratif, serta rekomendasi bacaan kini mampu menjangkau jutaan pengguna muda dan mendorong mereka kembali tertarik pada dunia membaca.
Fenomena rendahnya minat baca menjadi tantangan besar bagi sistem pendidikan di Inggris. Namun dengan kehadiran LitUp dan BookTok, transformasi literasi digital kini tampak lebih memungkinkan. Program LitUp tidak hanya memberikan akses buku gratis tetapi juga menciptakan ruang komunitas yang mendukung anak-anak untuk mengeksplorasi cerita dan narasi. Di sisi lain, BookTok sebagai bagian dari media sosial populer TikTok, telah menjadikan buku sebagai bagian dari budaya viral. Banyak buku yang sebelumnya sepi peminat kini laris diburu hanya karena dibahas secara menarik oleh pembaca muda di platform tersebut. Dengan menggabungkan pendekatan tradisional dan kekuatan media digital, keduanya membuka peluang baru dalam menghidupkan kembali kebiasaan membaca. Buku-buku yang selama ini hanya menghiasi rak perpustakaan kini ditemukan kembali melalui layar ponsel, membuktikan bahwa literasi dan teknologi dapat berjalan seiring dengan cara yang relevan dan menarik bagi generasi sekarang.
“Baca juga: Dana Pendidikan USD 7 Miliar Diblokir: Sekolah dan Orang Tua Amerika Resah”
Pentingnya peran keluarga dan komunitas dalam membangun kembali budaya membaca tidak dapat diabaikan. Inisiatif seperti LitUp menempatkan elemen ini sebagai fondasi utama keberhasilannya. Anak-anak yang sebelumnya enggan membaca mulai merasa lebih termotivasi ketika orang tua, tenaga pendidik, dan komunitas turut terlibat secara aktif. Sesi membaca bersama dan diskusi terbuka tentang isi buku telah menciptakan ruang yang ramah dan inklusif. Buku tidak lagi dianggap sebagai kewajiban akademik semata, melainkan sebagai jembatan untuk berkomunikasi dan memahami dunia. Komunitas lokal yang mendukung program seperti ini terbukti dapat meningkatkan partisipasi dan keberlanjutan gerakan literasi. Keberhasilan tersebut diperkuat dengan bantuan teknologi yang memudahkan akses ke buku audio serta konten interaktif. Dengan demikian, keberhasilan literasi tidak hanya bergantung pada ketersediaan bahan bacaan tetapi juga pada lingkungan sosial yang mendukung kebiasaan tersebut berkembang secara alami.
Dampak positif media sosial dalam dunia pendidikan kini tidak bisa dipandang sebelah mata. BookTok menjadi contoh konkret bagaimana platform digital bisa dimanfaatkan untuk membangun budaya membaca yang menyenangkan. Dengan format video pendek dan narasi personal, para pembuat konten mampu menghidupkan kembali antusiasme terhadap buku-buku fiksi maupun nonfiksi. Tren ini menarik perhatian banyak penerbit yang mulai memanfaatkan media sosial untuk kampanye literasi yang lebih kreatif. Di luar BookTok, platform lain seperti YouTube dan podcast juga mulai dilirik sebagai alat untuk menyebarkan literasi dalam bentuk yang lebih audio-visual. Sementara itu, beberapa sekolah mulai mengadopsi pendekatan ini dengan membuat klub literasi digital yang membahas buku secara daring. Meski tidak sedikit yang meragukan efektivitas media sosial dalam dunia pendidikan, nyatanya pendekatan ini berhasil menarik perhatian siswa yang sebelumnya kurang tertarik membaca secara konvensional.
“Simak juga: Frank dan Dan Carney: Dua Saudara di Balik Lahirnya Pizza Hut Global”
Masa depan literasi di Inggris kini bergantung pada keberanian untuk terus berinovasi. Program seperti LitUp dan komunitas BookTok telah membuktikan bahwa inklusivitas dan teknologi adalah kombinasi efektif dalam menjawab tantangan literasi kontemporer. Anak-anak yang memiliki keterbatasan akses ke buku cetak dapat terbantu melalui platform audio dan digital. Sementara itu, pelibatan langsung anak muda dalam proses kurasi buku dan diskusi daring membuat mereka merasa memiliki andil dalam membentuk budaya membaca. Inisiatif seperti ini memberi ruang bagi keragaman konten dan pendekatan yang lebih personal. Perubahan paradigma bahwa membaca bukan hanya soal buku fisik melainkan pengalaman terlibat dalam cerita dan narasi juga mulai diterima luas. Oleh karena itu, strategi literasi masa depan harus mencakup pelatihan tenaga pendidik, penyediaan teknologi inklusif, serta penguatan peran keluarga dan komunitas. Semua elemen ini saling melengkapi dalam menciptakan generasi pembaca yang kritis dan kreatif.