ST Francis Luck Now – Byju’s gagal ekspansi secara masif dan kini menghadapi krisis identitas serta keuangan yang mengguncang lanskap teknologi pendidikan global. Perusahaan edtech terbesar dari India ini pernah dihormati sebagai pelopor revolusi pembelajaran digital, namun kini menjadi peringatan keras atas dampak ekspansi agresif yang tidak dibarengi kontrol manajemen yang memadai. Kejatuhan ini bukan sekadar urusan korporasi, melainkan pelajaran penting bagi startup pendidikan di seluruh dunia. Reputasinya kini tengah dipertaruhkan.
Dua akuisisi strategis—Tynker, platform pengajaran coding untuk anak-anak, dan Epic, aplikasi perpustakaan digital untuk siswa—telah dijual kembali dengan nilai yang sangat jauh di bawah harga belinya. Epic, yang sebelumnya dibeli seharga US$500 juta, kini hanya dihargai US$95 juta. Tynker yang dibeli senilai US$200 juta, dilepas hanya dengan US$2,2 juta. Kedua transaksi ini telah dikonfirmasi oleh media keuangan ternama. Kerugian besar pun harus ditanggung perusahaan. Padahal, akuisisi tersebut dulunya digembar-gemborkan sebagai bagian dari ekspansi global Byju’s yang menyasar pasar Barat. Ekspansi ini dibiayai dari modal ventura dalam jumlah besar, dengan valuasi perusahaan sempat menyentuh angka US$22 miliar. Namun, pertumbuhan tak sebanding dengan arus kas. Biaya operasional terus membengkak. Ekspektasi investor pun tidak terpenuhi.
Dalam upaya bangkit dari keterpurukan, Byju Raveendran—pendiri dan CEO perusahaan—mengumumkan peluncuran konsep “Byju’s 3.0”, sebuah platform pembelajaran berbasis kecerdasan buatan (AI). Walau visinya disebut revolusioner, publik masih mempertanyakan arah dan kejelasan strategi tersebut. Detail teknis mengenai “3.0” belum diungkapkan secara menyeluruh. Harapan tetap disuarakan.
Di tengah arus inovasi AI dalam pendidikan, banyak pelaku industri melihat langkah Byju’s sebagai semacam “judi reputasi” terakhir. Ketika banyak platform EdTech mulai meluncurkan tutor virtual, sistem adaptif berbasis data, hingga pengalaman pembelajaran personal, Byju’s tampaknya mencoba mengejar tren itu dengan sangat cepat. Tanpa infrastruktur yang kokoh, upaya ini bisa berujung sia-sia. Ketergantungan pada teknologi semata tidak menjamin keberhasilan. Model bisnis Byju’s selama ini sangat bertumpu pada strategi hypergrowth: mengakuisisi startup kecil, membanjiri pasar dengan promosi, lalu mencari investor baru untuk menopang pertumbuhan. Namun saat krisis ekonomi global melanda, strategi ini tak lagi bisa dipertahankan. Beberapa produk gagal menghasilkan pendapatan yang diharapkan. Banyak tim internal juga dilaporkan mengalami perampingan.
“Baca juga: Sekolah Dasar di Connecticut Uji Coba AI di Kelas: Masa Depan Belajar Dimulai”
Kejatuhan Byju’s memunculkan efek domino yang bisa memengaruhi persepsi investor terhadap sektor teknologi pendidikan secara keseluruhan. Startup lain yang tengah mencari pendanaan pun terkena imbasnya. Skeptisisme investor meningkat. Penilaian kelayakan kini semakin ketat.
Investor global—termasuk perusahaan modal ventura besar dari AS, Timur Tengah, dan Eropa—kini lebih berhati-hati dalam menanamkan modal ke sektor edtech. Byju’s dianggap sebagai contoh nyata dari ekspansi yang tidak berkelanjutan dan terlalu bergantung pada suntikan modal luar. Laporan keuangan pun diawasi dengan lebih detail. Model berbasis profit dan dampak nyata menjadi syarat utama. Sementara itu, pasar lokal di India dan Asia Tenggara mulai bergerak ke arah solusi yang lebih terukur dan inklusif. Startup pendidikan kecil kini fokus pada model hybrid learning, edtech berbasis komunitas, serta integrasi AI yang membumi. Kepercayaan masyarakat terhadap raksasa edtech mulai luntur. Strategi pertumbuhan organik kembali dikedepankan.
“Simak juga: Skandal Ubisoft: Ketika Kantor Menjadi Medan Pelecehan”
Koreksi pasar telah menimpa banyak unicorn di berbagai sektor, tetapi kejatuhan Byju’s menjadi sangat simbolis karena sektor pendidikan dianggap sebagai sektor yang tahan krisis. Namun justru dalam pendidikan, ekspektasi pertumbuhan eksponensial sulit terpenuhi tanpa jaminan kualitas dan nilai jangka panjang. Beberapa keputusan internal dikritik oleh analis.
Saat perusahaan tumbuh terlalu cepat, sistem akuntabilitas, pengelolaan SDM, dan kualitas produk seringkali terabaikan. Hal inilah yang dirasakan langsung oleh konsumen dan mitra. Proses pengembangan konten digital pun sempat tertunda. Kepuasan pengguna pun menurun. Kasus Byju’s menjadi cermin bahwa teknologi hanyalah alat. Tanpa arah yang jelas dan kontrol bisnis yang sehat, potensi transformasi pendidikan akan gagal diwujudkan. Inovasi harus disertai dengan transparansi, konsistensi, dan tanggung jawab sosial. Perusahaan teknologi pendidikan tidak bisa lagi hanya menjual mimpi.