ST Francis Luck Now – Plat BL Aceh kembali menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat setelah Gubernur Sumatera Utara Muhammad Bobby Nasution mengeluarkan kebijakan kontroversial yang melarang kendaraan berplat BL melintas di wilayahnya. Langkah ini menuai reaksi dari berbagai kalangan, termasuk dari Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau yang akrab disapa Mualem. Meski kebijakan ini berpotensi menimbulkan ketegangan antarwilayah, Mualem memilih merespons dengan sikap santai dan menahan diri. Dalam rapat paripurna DPRA pada Senin 29 September 2025, Mualem menyebut bahwa Aceh tidak perlu bereaksi berlebihan dan menyikapi isu ini dengan kepala dingin. Ia menilai bahwa pelarangan plat kendaraan dari Aceh justru lebih merugikan Sumatera Utara sendiri. Dalam pernyataannya, Mualem menekankan bahwa pihaknya akan tetap memantau situasi dan bertindak tegas jika ada tindakan nyata yang mengganggu hubungan baik antarwilayah di Indonesia.
Menanggapi larangan Plat BL Aceh melintas di Sumatera Utara, Mualem mengajak masyarakat Aceh untuk tidak terprovokasi. Dalam pernyataannya, ia menyebut bahwa persoalan ini sebaiknya dianggap sebagai angin lalu. Kata-katanya yang bernuansa tenang seperti kita anggap kicauan burung menunjukkan bahwa Aceh lebih memilih menghindari konflik terbuka. Mualem menyampaikan bahwa pihaknya tidak akan membalas kebijakan tersebut dengan tindakan serupa, namun tetap waspada. Pernyataan ini memperlihatkan kedewasaan dalam bersikap sekaligus mengirim pesan bahwa Aceh tidak ingin terlibat dalam dinamika politik yang hanya menimbulkan gesekan horizontal. Menurutnya, jika tindakan ini dibiarkan, dampaknya akan lebih besar kepada Sumatera Utara karena hubungan ekonomi dan mobilitas antarwilayah bisa terganggu. Oleh karena itu, Aceh memilih menahan diri sambil tetap mengawasi perkembangan kebijakan ini di lapangan.
Meski menunjukkan sikap tenang, Mualem tidak sepenuhnya menutup kemungkinan untuk merespons lebih keras bila larangan tersebut terus berlanjut. Dalam pidatonya di hadapan DPRA, ia menyampaikan peringatan halus dengan pernyataan kalau sudah gatal kita garuk. Kalimat itu menggambarkan filosofi Aceh yang sabar namun tidak diam bila ada hal yang melewati batas. Sikap ini mencerminkan karakter diplomatis yang tetap menjaga marwah daerah tanpa terjebak provokasi. Mualem juga menyampaikan bahwa orang lain bebas berbicara namun Aceh punya prinsip yang tidak mudah diusik. Peringatan ini menjadi penanda bahwa komunikasi antarwilayah perlu dijaga agar tidak memicu sentimen negatif. Dengan pengaruhnya sebagai Gubernur, pernyataan Mualem membawa efek menenangkan bagi masyarakat Aceh sekaligus mengingatkan pihak lain agar lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan yang bersifat diskriminatif terhadap daerah tertentu.
“Simak juga: 4 Ide Fashion Minimalis ala Lee Chae Min yang Bikin Penampilanmu Auto Keren!”
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Bobby Nasution bukan hanya berdampak pada mobilitas kendaraan dari Aceh tetapi juga memunculkan dinamika politik baru antara dua kepala daerah. Bobby sebagai Gubernur Sumatera Utara dikenal dengan pendekatan tegas dalam berbagai hal, namun dalam konteks pelarangan kendaraan berplat BL kebijakan ini dianggap tidak tepat oleh sebagian besar pengamat. Sementara itu, Mualem yang menjabat sebagai Gubernur Aceh menunjukkan pendekatan lebih lunak meski tetap mengirim sinyal kuat bahwa Aceh tidak akan tinggal diam. Relasi keduanya kini menjadi sorotan karena bisa berdampak pada hubungan antardaerah di wilayah barat Indonesia. Sebagian pengamat menilai bahwa tindakan Bobby ini bisa menimbulkan dampak politis yang lebih luas jika tidak segera diklarifikasi atau dicabut. Di sisi lain, Mualem justru mendapat dukungan publik karena dinilai tidak mudah terpancing dan tetap fokus menjaga stabilitas daerahnya.
Situasi yang melibatkan Plat BL Aceh di Sumatera Utara menunjukkan pentingnya komunikasi dan koordinasi antara pemerintah provinsi dalam mengelola isu sensitif. Langkah preventif seperti dialog antarpemerintah daerah sangat dibutuhkan agar kebijakan yang dikeluarkan tidak menimbulkan ketegangan baru. Masyarakat Aceh yang banyak melintas ke Sumut untuk keperluan bisnis, pendidikan, dan keluarga sangat terdampak oleh kebijakan ini. Karena itu, berbagai pihak berharap agar Gubernur Sumatera Utara membuka ruang diskusi untuk menyelesaikan permasalahan ini secara damai. Keterlibatan pemerintah pusat juga diharapkan agar tidak terjadi perlakuan diskriminatif antardaerah yang bisa merusak persatuan nasional. Bila komunikasi tidak dijalin secara terbuka dan adil, maka potensi konflik horizontal akan semakin besar. Momen ini seharusnya menjadi refleksi bahwa setiap kebijakan harus dikaji dari berbagai sudut pandang sebelum diberlakukan.
Artikel ini bersumber dari www.ajnn.net dan untuk lebih lengkapnya kalian bisa baca di stfrancislucknow
Penulis : Sarah Azhari
Editor : Anisa