ST Francis Luck Now – Trauma anak tidak selalu berasal dari peristiwa besar seperti bencana atau kehilangan. Terkadang, sikap sehari-hari orangtua seperti membentak, membandingkan, atau kurang memberi perhatian bisa membekas dalam pikiran anak dan membentuk luka batin yang tidak terlihat. Di masa perkembangan, anak sangat rentan terhadap pengalaman emosional negatif karena belum bisa memahami konteks sepenuhnya. Sayangnya, banyak orangtua tidak menyadari bahwa pola pengasuhan mereka bisa memperparah trauma anak tanpa niat buruk. Dalam situasi tertentu, bahkan kata-kata yang dianggap biasa bisa ditafsirkan berbeda oleh anak. Inilah mengapa penting bagi orangtua untuk memahami pendekatan trauma-informed parenting yang berfokus pada empati, pengakuan emosi, dan dukungan yang konsisten terhadap anak. Tanpa pendekatan ini, luka emosi anak bisa berkembang menjadi masalah psikologis jangka panjang.
Trauma anak bisa diatasi lebih efektif jika pendekatan parenting yang digunakan berfokus pada kebutuhan emosional dan psikologis si kecil. Trauma-informed parenting bukan sekadar bersikap lembut, tetapi juga melibatkan pemahaman terhadap pengalaman masa lalu anak dan bagaimana hal itu memengaruhi perilaku serta respons mereka saat ini. Dalam teknik ini, orangtua diajak untuk lebih peka terhadap sinyal stres yang mungkin ditunjukkan anak secara tidak langsung, seperti perubahan suasana hati yang ekstrem atau reaksi berlebihan terhadap situasi yang dianggap biasa. Pendekatan ini membantu orangtua tidak langsung menghakimi perilaku anak, melainkan mencoba mencari akar emosinya terlebih dahulu. Penerapan teknik ini juga menekankan pentingnya membangun hubungan aman yang konsisten antara anak dan orang dewasa. Dengan begitu, pemulihan emosi dan tumbuh kembang anak dapat berjalan secara sehat dan berkelanjutan.
“Baca juga: Bukan Sekadar Kerja Sama! Kolaborasi ITB dan Tsinghua Buka Peluang Dual Degree ke Cina!”
Penerapan trauma-informed parenting mengharuskan orangtua untuk selalu mengedepankan empati dan validasi terhadap emosi anak. Dalam banyak kasus, anak tidak membutuhkan solusi instan atas masalahnya, melainkan hanya ingin didengarkan dan diterima. Ketika anak mengungkapkan perasaannya, baik melalui kata maupun sikap, penting bagi orangtua untuk tidak meremehkan atau menepis emosi tersebut. Sebaliknya, orangtua disarankan memberi respons yang menunjukkan bahwa emosi anak adalah wajar dan boleh dirasakan. Proses ini akan membantu anak membangun rasa aman dan kepercayaan diri dalam mengelola perasaannya sendiri. Empati yang konsisten akan menjadi fondasi kuat bagi anak untuk pulih dari pengalaman traumatisnya. Validasi juga memperkuat hubungan antara orangtua dan anak, karena anak merasa diterima tanpa syarat dan bisa menjadi dirinya sendiri tanpa takut dihakimi atau dihukum.
Dalam trauma-informed parenting, stabilitas adalah salah satu elemen terpenting yang perlu diterapkan. Anak yang mengalami trauma biasanya mengalami kekacauan emosional dan sulit memprediksi apa yang akan terjadi. Oleh karena itu, rutinitas yang konsisten dapat menciptakan rasa aman dan mengurangi kecemasan anak. Jadwal tidur yang teratur, waktu makan bersama, dan ritual harian sederhana seperti membacakan buku sebelum tidur, bisa sangat membantu pemulihan psikologis mereka. Selain itu, lingkungan rumah yang bebas dari konflik keras, teriakan, atau tekanan tinggi juga mendukung terciptanya ruang aman bagi anak untuk berkembang. Ketika anak merasa dunianya bisa diprediksi dan aman, sistem saraf mereka menjadi lebih tenang. Hal ini memungkinkan otak anak untuk fokus pada proses belajar dan eksplorasi diri alih-alih terus-menerus berada dalam mode pertahanan terhadap stres.
“Simak juga: Rahasia Profesional Sukses: Ikut Pelatihan Ini, Gaji Naik Drastis!”
Banyak orangtua tidak menyadari bahwa tindakan yang mereka anggap wajar bisa memperparah trauma anak. Misalnya, memarahi anak di depan umum, sering membandingkan mereka dengan saudara atau teman, atau merespons tangisan anak dengan sikap tidak sabar. Tindakan seperti ini bisa meninggalkan luka emosional yang mendalam, terutama jika terjadi berulang. Kesalahan ini bukan berarti orangtua gagal, tetapi menjadi sinyal bahwa perlu ada refleksi dan perubahan dalam pendekatan pengasuhan. Perilaku anak yang dianggap bandel atau tidak patuh bisa jadi merupakan bentuk reaksi dari luka batin yang belum sembuh. Melalui trauma-informed parenting, orangtua diajak untuk menggali lebih dalam penyebab dari setiap perilaku anak, bukan hanya menanggapi permukaannya saja. Dalam proses ini, anak tidak dipaksa untuk berubah, melainkan dibimbing dengan penuh pengertian agar bisa tumbuh sebagai individu yang sehat secara mental dan emosional.