ST Francis Luck Now – Timothy menjadi simbol baru dari luka dalam dunia pendidikan Indonesia. Mahasiswa Universitas Udayana itu ditemukan meninggal setelah mengalami tekanan sosial yang berat di lingkungan kampusnya. Kejadian ini terjadi pada 15 Oktober 2025 dan langsung menyebar luas di media sosial. Publik tersentak karena kasus perundungan kembali merenggut nyawa generasi muda. Timothy dikenal sebagai sosok yang santun, ramah, dan berprestasi. Namun, di balik senyumnya, ia memendam luka akibat ejekan dan tekanan yang terus-menerus menghantamnya. Kasus ini membuka mata banyak orang bahwa bullying bukan sekadar kenakalan remaja, melainkan patologi sosial yang mematikan. Tragedi Timothy juga menjadi pengingat keras tentang pentingnya menciptakan ruang belajar yang aman, empatik, dan bebas dari kekerasan psikologis. Setiap ejekan dan tekanan kecil yang dibiarkan tumbuh dapat berubah menjadi tragedi besar seperti ini.
Timothy menjadi korban dari lingkaran kekerasan psikologis yang sering tidak terlihat. Bullying bukan hanya terjadi di sekolah dasar atau menengah, tetapi juga hidup subur di lingkungan kampus. Dalam kasus ini, tekanan sosial datang dari lingkaran pertemanan sendiri. Situasi seperti ini membuat korban merasa terperangkap tanpa jalan keluar. Seminar dan kampanye anti-bullying sering dilakukan, namun tidak benar-benar menyentuh akar masalah. Para pelaku merasa aman karena sanksi biasanya hanya berupa permintaan maaf. Banyak korban akhirnya merasa sendirian, tidak tahu harus mencari pertolongan ke mana. Timothy bukan satu-satunya yang mengalami tekanan ini, tetapi kematiannya menjadi simbol bahwa masalah ini nyata dan mendesak. Perundungan telah menjadi masalah struktural, bukan lagi sekadar persoalan perilaku individu.
Lingkungan sosial sering kali gagal memahami penderitaan psikologis korban bullying. Alih-alih memberikan dukungan, banyak orang justru menyalahkan korban. Mereka mempertanyakan mengapa korban tidak melawan atau melapor. Stigma seperti ini memperburuk kondisi mental dan menciptakan perasaan terasing. Dalam psikologi, respons terhadap tekanan ekstrem dapat berupa freeze, flight, atau fight. Tidak semua orang mampu melawan dalam kondisi seperti ini. Rasa bersalah dan tekanan batin membuat korban semakin terpuruk. Ketika masyarakat tidak memahami mekanisme psikologis ini, korban seperti Timothy justru dipaksa memikul beban yang bukan tanggung jawabnya. Padahal, tekanan sosial dan ejekan yang terus-menerus dapat menciptakan luka mental yang sangat dalam. Luka seperti ini sering tidak terlihat, tetapi bisa menghancurkan harga diri dan harapan seseorang untuk hidup.
“Simak juga: Jimin BTS di Paris Fashion Week SS26! Blazer Doang tapi Bikin Jantung Meleleh”
Kematian Timothy menyoroti lemahnya respons lembaga pendidikan terhadap perundungan. Sekolah dan kampus sering menjadi tempat di mana bullying tumbuh subur. Laporan korban kerap diabaikan. Pelaku sering dilindungi atas nama baik institusi. Penyelesaian kasus biasanya berakhir dengan damai tanpa efek jera. Aparat penegak hukum pun sering bertindak lambat, kecuali jika kasus sudah viral atau menelan korban jiwa. Relasi kuasa memperburuk keadaan ketika pelaku berasal dari keluarga berpengaruh. Situasi ini memberi pesan jelas bahwa pelaku bisa lolos dari konsekuensi. Akibatnya, siklus perundungan terus berulang dari generasi ke generasi. Kematian Timothy menjadi bukti nyata dari kegagalan sistem ini. Selama negara dan institusi pendidikan tidak bertindak tegas, tragedi serupa akan terus terjadi.
Kasus Timothy menunjukkan bahwa solusi terhadap bullying tidak cukup dengan kampanye moral. Masalah ini butuh perubahan sistemik dari berbagai sisi. Hukum harus menegaskan konsekuensi nyata bagi pelaku, sementara pendidikan harus membangun budaya empati yang kuat. Sekolah dan kampus wajib menyediakan sistem pelaporan yang aman dan respons cepat terhadap setiap kasus perundungan. Negara tidak boleh hanya hadir setelah tragedi terjadi. Masyarakat juga harus belajar berhenti menyalahkan korban dan mulai membangun lingkungan yang suportif. Tanpa perubahan menyeluruh, alarm bully seperti yang dialami Timothy akan terus berbunyi dan memakan korban berikutnya. Setiap kematian akibat bullying bukan sekadar statistik, melainkan cermin kegagalan negara melindungi generasinya.
Artikel ini bersumber dari kompas dan untuk lebih lengkapnya kalian bisa baca di stfrancislucknow
Penulis : Sarah Azhari
Editor : Anisa