ST Francis Luck Now – Unisba menjadi sorotan publik setelah insiden kerusuhan yang pecah di kawasan Tamansari, Bandung, pada malam tanggal 1 September 2025. Dalam peristiwa tersebut, polisi menembakkan gas air mata yang asapnya menyebar hingga ke lingkungan Universitas Islam Bandung dan Universitas Pasundan. Situasi ini menciptakan kepanikan di kalangan mahasiswa dan staf kampus. Reaksi keras datang dari berbagai pihak, termasuk Lembaga Bantuan Hukum Bandung yang mengecam tindakan aparat. Dalam pernyataannya, mereka menyebut bahwa kampus adalah ruang intelektual yang seharusnya tidak menjadi sasaran tindakan militeristik. Kebebasan akademik dinilai telah dilanggar secara terang-terangan. Tak hanya mahasiswa, warga sekitar juga terdampak akibat meluasnya gas air mata. Rektor Unisba kemudian memberikan keterangan resmi untuk menjelaskan kronologi kejadian. Namun, informasi mengenai siapa sebenarnya massa penyebab kericuhan tersebut masih menjadi tanda tanya dan memicu perdebatan di masyarakat.
Dalam konferensi pers yang digelar pada Selasa pagi, Rektor Unisba Prof A Harits Nu man membeberkan kronologi kejadian yang menyebabkan kampusnya terdampak oleh kerusuhan. Menurutnya, aksi demonstrasi sebenarnya telah selesai pada pukul lima sore. Namun sekitar pukul 17.20 korban mulai berdatangan ke posko kesehatan yang dibuka di lingkungan kampus. Penanganan medis terhadap para korban berlangsung hingga pukul 21.00. Selang tiga puluh menit kemudian, kerusuhan terjadi secara masif. Harits mengungkapkan bahwa massa yang tadinya telah membubarkan diri justru kembali muncul dari titik-titik lain. Mereka memblokade sejumlah ruas jalan seperti Jalan Trunojoyo, Taman Radio, hingga Tamansari. Hal tersebut memicu respons dari aparat keamanan yang akhirnya melakukan sweeping di sepanjang area tersebut. Ia menyebut bahwa gas air mata ditembakkan bukan ke area kampus, melainkan ke jalan umum yang telah dipadati massa yang tak dikenal identitasnya.
Bukan hanya Unisba yang terdampak, Universitas Pasundan juga mengalami situasi yang serupa. Kepala Keamanan Kampus Unpas, Rosid, menyatakan bahwa ratusan orang berlarian masuk ke dalam lingkungan kampus saat gas air mata mulai ditembakkan oleh aparat. Sejumlah korban pingsan bahkan ditemukan dan langsung ditangani oleh tim KSR PMI yang telah siaga sejak beberapa hari sebelumnya. Kampus yang awalnya hanya menjadi titik kumpul mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi justru berubah menjadi tempat perlindungan bagi massa yang dipukul mundur. Sisa proyektil gas air mata dikumpulkan oleh petugas kampus sebagai bukti kejadian. Diketahui bahwa lebih dari seratus orang berlindung di dalam kampus dan sebanyak dua belas orang dilaporkan sempat pingsan akibat paparan gas. Pihak kampus pun mengambil sikap terbuka demi alasan kemanusiaan dan mengizinkan penggunaan fasilitas kesehatan untuk menangani korban yang mengalami sesak napas dan kelelahan.
Insiden gas air mata di area kampus langsung memicu kemarahan dari sejumlah aktivis dan kelompok sipil di Bandung. Lembaga Bantuan Hukum menyuarakan kritik keras terhadap tindakan aparat yang dianggap berlebihan dan tidak proporsional. Mereka menyatakan bahwa kampus seharusnya dijaga sebagai ruang aman untuk menyampaikan pendapat dan bukan menjadi target represif. Media sosial pun dipenuhi dengan tagar protes dan kecaman terhadap tindakan aparat. Potongan video dan foto-foto kericuhan dibagikan luas oleh warganet, menambah panasnya suasana. Narasi bahwa kampus diserang polisi menyebar cepat meski pihak kampus telah menjelaskan bahwa area terdampak adalah jalan umum di sekitar kampus. Situasi ini memperlihatkan pentingnya komunikasi yang jelas dan cepat dari berbagai pihak agar tidak terjadi simpang siur informasi. Banyak pihak mendesak dilakukan investigasi menyeluruh untuk memastikan siapa sebenarnya pihak-pihak yang memprovokasi hingga menimbulkan kekacauan.
Tuntutan terhadap aparat keamanan untuk bertindak lebih profesional dalam menangani aksi massa kembali mengemuka. Dalam kejadian di Tamansari, tindakan penembakan gas air mata disebut menimbulkan dampak yang jauh lebih luas dari yang diperkirakan. Warga kampus, mahasiswa, dan bahkan masyarakat umum di sekitar lokasi terkena imbasnya. Penyebaran informasi yang tidak dikendalikan secara efektif juga memperkeruh situasi. Beberapa pihak menilai bahwa sweeping yang dilakukan justru memperburuk keadaan dan memperluas wilayah terdampak. Tidak sedikit yang mengkritik minimnya komunikasi antara aparat dan pihak kampus sebelum tindakan represif dilakukan. Dalam kondisi seperti ini, transparansi dari kepolisian menjadi hal yang mutlak agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Kampus yang seharusnya menjadi tempat aman dan kondusif untuk berpikir justru berubah menjadi ruang penuh asap dan ketegangan. Desakan agar kejadian serupa tidak terulang semakin kuat disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat.