ST Francis Luck Now – Parenting Lembut Tren Baru telah menjadi pilihan utama banyak orang tua milenial dan Gen Z saat ini. Gaya pengasuhan ini menekankan pendekatan empatik, komunikasi dua arah, serta penghindaran hukuman keras. Banyak yang percaya bahwa anak akan tumbuh lebih percaya diri dan memiliki harga diri yang sehat tanpa perlu dimarahi. Keinginan untuk menghindari luka batin seperti yang mungkin pernah dialami oleh generasi sebelumnya menjadi pendorong utama munculnya tren ini. Orang tua modern lebih memilih duduk dan berbicara dengan anak untuk menyelesaikan masalah dibandingkan dengan membentak atau menghukum. Mereka menganggap bahwa setiap emosi anak perlu divalidasi agar tidak terbentuk trauma masa kecil. Walau terlihat ideal, tetap saja pendekatan ini menimbulkan perdebatan. Tidak semua ahli sepakat bahwa pengasuhan tanpa batas dan tanpa otoritas akan berdampak baik dalam jangka panjang.
Salah satu keuntungan yang paling banyak dibahas dari Parenting Lembut Tren Baru adalah meningkatnya kecerdasan emosional anak. Dalam gaya ini, anak dibiasakan mengenali emosi sendiri serta belajar mengekspresikannya secara sehat. Ketika anak tidak dimarahi secara verbal, mereka merasa aman dan didengar oleh orang tuanya. Hal ini menciptakan hubungan yang lebih kuat antara anak dan orang tua. Kepercayaan diri juga cenderung tumbuh lebih baik karena anak merasa dihargai sebagai individu. Anak yang dibesarkan dalam pola asuh lembut juga disebut lebih terbuka untuk bercerita, berani menyampaikan pendapat, serta memiliki kemampuan sosial yang lebih baik. Selain itu, gaya ini membantu anak mengembangkan empati karena mereka terbiasa menghadapi konflik dengan cara damai. Namun penting diingat bahwa meskipun ada banyak manfaat, keseimbangan tetap perlu dijaga agar anak tidak menjadi terlalu bebas tanpa arah.
Meski pendekatan ini memiliki banyak sisi positif, tidak sedikit psikolog yang memperingatkan tentang risiko jika Parenting Lembut Tren Baru dilakukan tanpa batasan yang jelas. Anak yang tidak pernah mendapatkan teguran tegas dikhawatirkan akan mengalami kesulitan memahami otoritas dan aturan sosial. Dalam lingkungan sekolah atau masyarakat, aturan tetap berlaku dan tidak selalu bisa dinegosiasikan. Ketika anak dibiasakan bahwa semua bisa dibicarakan tanpa konsekuensi, mereka bisa menjadi kurang siap menghadapi kenyataan hidup yang keras. Beberapa kasus menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh tanpa teguran tegas menjadi mudah tersinggung atau kesulitan menerima kritik. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk memahami bahwa kasih sayang tidak berarti tidak ada struktur. Aturan tetap dibutuhkan untuk membentuk karakter yang tangguh dan bertanggung jawab. Bukan berarti kembali ke pola lama yang otoriter, tetapi lebih kepada menyeimbangkan kasih dan kendali.
Salah satu kesalahan umum adalah menganggap Parenting Lembut sama dengan gaya permisif. Padahal, keduanya memiliki filosofi yang sangat berbeda. Dalam pengasuhan permisif, anak dibiarkan bebas hampir tanpa batas. Orang tua cenderung tidak menetapkan aturan atau memberi konsekuensi, hanya agar anak tidak merasa kecewa atau marah. Sementara itu, Parenting Lembut tetap menerapkan batasan yang jelas namun dengan pendekatan yang penuh empati. Tujuan utama dari parenting ini adalah membimbing anak dengan sabar tanpa mempermalukan atau menjatuhkan harga dirinya. Komunikasi dilakukan secara konsisten agar anak mengerti alasannya, bukan sekadar menerima larangan. Orang tua yang menggunakan pendekatan lembut biasanya sangat terlibat dalam kehidupan anak namun tetap mengarahkan dengan penuh perhatian. Oleh karena itu, penting membedakan keduanya agar tidak terjebak pada gaya yang tampaknya hangat tetapi sebenarnya merusak struktur pengasuhan yang sehat.
“Simak juga: Tenang dan Sakral! Bukit Doa Mahawu Jadi Surga Tersembunyi Wisata Religi di Tomohon”
Mengadopsi Parenting Lembut di era digital bukanlah perkara mudah. Orang tua saat ini dihadapkan pada berbagai tantangan yang tidak dialami generasi sebelumnya. Paparan media sosial, konten tidak sesuai usia, serta arus informasi yang terlalu cepat membuat pengawasan menjadi lebih kompleks. Selain itu, anak-anak zaman sekarang juga cenderung lebih cepat menyerap perilaku dari lingkungan luar. Dalam konteks ini, banyak orang tua merasa kesulitan menetapkan batasan tanpa dianggap otoriter. Tidak jarang konflik muncul karena perbedaan persepsi antara kebebasan dan disiplin. Oleh karena itu, keterampilan komunikasi orang tua perlu ditingkatkan agar bisa memberikan pengaruh positif tanpa tekanan. Pemahaman terhadap perkembangan psikologi anak dan literasi digital menjadi faktor penting agar parenting tetap relevan. Jika tidak dikelola dengan baik, tren lembut ini justru bisa menjadi bumerang dan membuat anak bingung membedakan mana kebebasan dan mana tanggung jawab.