ST Francis Luck Now – Nesting menjadi pendekatan parenting pasca-cerai yang kini mendapat perhatian luas di berbagai negara. Dalam skema ini, anak tetap tinggal di rumah utama sementara kedua orangtua bergantian menetap di sana mengikuti jadwal yang telah disepakati. Konsep ini hadir sebagai alternatif yang lebih berfokus pada kenyamanan anak agar mereka tidak harus pindah-pindah rumah atau lingkungan baru. Saat lingkungan fisik anak tetap konsisten, diharapkan transisi emosional mereka menjadi lebih ringan. Metode ini meminimalkan gangguan rutinitas dan menjaga kestabilan psikologis. Namun, nesting menuntut kedewasaan emosional dan komunikasi terbuka dari kedua belah pihak. Tak hanya soal pengaturan waktu, tetapi juga soal batasan privasi dan logistik harian yang kompleks. Banyak keluarga berhasil menerapkannya, meskipun tidak sedikit yang menghadapi tantangan besar karena masalah kepercayaan dan dinamika pasca-perceraian yang belum selesai secara emosional.
Dalam praktiknya, nesting bukan hanya soal tempat tinggal tetapi juga soal dinamika hubungan kedua orangtua setelah berpisah. Nesting menuntut komunikasi yang sangat terbuka dan jujur agar rotasi berjalan tanpa konflik. Tanpa kedewasaan emosional, pola ini bisa menjadi sumber stres baru, terutama bila satu pihak belum selesai secara batin. Nesting memang memberi kenyamanan untuk anak, tetapi tanpa kerja sama orangtua, tujuan itu sulit tercapai. Bahkan, rumah yang tadinya menjadi tempat aman justru bisa menjadi ruang konflik yang tidak terlihat. Dalam banyak kasus, ketegangan emosional meningkat karena belum ada batasan tegas antar mantan pasangan. Nesting hanya bisa berjalan lancar bila kedua pihak mampu menempatkan kebutuhan anak di atas segalanya. Maka dari itu, peran konselor keluarga dan mediasi menjadi krusial dalam memfasilitasi transisi ini secara sehat dan minim konflik.
“Baca juga: Membuka Pasar Dunia: Pelatihan Strategi Ekspor-Impor untuk UMKM”
Perencanaan logistik dalam nesting harus dibuat sedetail mungkin agar rumah tetap menjadi tempat yang aman dan fungsional. Jadwal kehadiran orangtua, pembagian tugas rumah tangga, hingga pengelolaan barang pribadi harus ditentukan secara jelas. Tanpa struktur yang kuat, pola ini bisa menimbulkan kebingungan bagi anak dan orangtua. Nesting juga menuntut fleksibilitas karena perubahan jadwal atau kebutuhan mendadak bisa terjadi kapan saja. Tak jarang, sistem ini membuat kelelahan mental karena tidak adanya ruang pribadi tetap bagi orangtua. Banyak kasus di mana nesting akhirnya dihentikan karena logistik yang terlalu rumit dan memicu konflik. Meski demikian, sebagian keluarga berhasil menjalankan nesting dengan dukungan perencanaan yang matang dan kesepakatan tertulis. Keberhasilan pola ini sangat tergantung pada seberapa besar komitmen kedua pihak dalam menjunjung kepentingan anak sebagai prioritas utama.
Tidak semua keluarga cocok dengan pola asuh bergantian di satu rumah yang sama. Faktor-faktor seperti tingkat konflik pasca-perceraian, situasi keuangan, dan kedewasaan emosional sangat memengaruhi keberhasilan metode ini. Skema ini sering berhasil jika kedua orangtua mampu menjaga hubungan yang tetap hormat meskipun sudah tidak bersama. Namun, bila perpisahan disebabkan oleh kekerasan, manipulasi, atau masalah serius lainnya, maka pendekatan ini menjadi tidak aman untuk dijalankan. Keputusan untuk menerapkan sistem bergantian tinggal perlu didiskusikan secara matang dengan pendamping profesional. Para pakar menekankan bahwa keberhasilan hanya mungkin dicapai bila komunikasi antara kedua pihak berlangsung dengan tenang dan terbuka. Bila komunikasi memburuk, anak justru dapat merasakan ketegangan emosional yang tersembunyi namun kuat. Karena itu, penting bagi setiap keluarga untuk mempertimbangkan segala aspek secara objektif sebelum menerapkan pola ini agar tidak menimbulkan beban psikologis tambahan.
“Simak juga: Dari Televisi ke YouTube: Evolusi Karier Deddy Corbuzier yang Menginspirasi”
Dukungan dari profesional seperti konselor keluarga dan mediator hukum menjadi elemen penting dalam keberhasilan sistem nesting. Mereka membantu menyusun struktur, menetapkan batasan, dan memediasi konflik yang mungkin muncul. Bahkan, beberapa platform parenting digital kini menyediakan layanan pendampingan nesting secara daring. Melalui pendekatan ini, keluarga dapat mendapat panduan langsung dalam menjalankan sistem rotasi orangtua yang sehat. Nesting juga bisa diperkuat dengan dukungan komunitas atau grup orangtua tunggal yang telah memiliki pengalaman serupa. Peran lingkungan sekitar, seperti sekolah dan tetangga, juga mendukung stabilitas emosi anak. Dalam beberapa kasus, pengawasan pihak ketiga bahkan diterapkan untuk memastikan keamanan emosional dan fisik anak. Dengan keterlibatan berbagai pihak, nesting tidak hanya menjadi metode transisi tetapi juga cara baru membangun keluarga yang tetap sehat meski dalam format yang berbeda.