ST Francis Luck Now – Gaya Asuh Eropa menjadi sorotan saat lima penulis Inggris mencoba lima pola asuh dari benua itu. Eksperimen ini memperkenalkan gaya Italia, Prancis, Jerman, Islandia, dan Polandia. Setiap metode diuji selama beberapa minggu dan refleksi personal dibagikan dalam bentuk artikel. Percobaan seperti ini memberi sudut pandang luas tentang betapa beragamnya cara membesarkan anak dan seberapa besar pengaruh budaya di balik tiap gaya.
Penulis Stuart Heritage mengadopsi gaya Italia dengan menetapkan jadwal makan malam yang lebih larut dan melibatkan anggota keluarga besar. Orang Italia dikenal mengedepankan kehangatan dalam interaksi keluarga. Makan bersama dianggap ritual penting. Para penulis membawa serta orang tua atau kakek nenek ke meja makan. Anak memiliki kesempatan berinteraksi dengan generasi yang berbeda setiap malam. Tradisi ini menciptakan momen kebersamaan yang intens. Banyak keluarga jadi lebih dekat. Namun beberapa penulis mengaku kesulitan menghadapi jadwal makan larut karena budaya Inggris menganut pola tidur yang lebih awal. Eksperimen ini mengungkap nilai budaya di balik aktivitas sederhana.
“Baca juga: UNP Academy Gelar PEKERTI Angkatan V: 38 Dosen dari Seluruh Indonesia Terlibat”
Lotte Jeffs membantu artikel tentang Gaya Asuh Eropa, khususnya gaya Prancis, di mana formalitas dan disiplin ditegakkan. Anak didorong tampil sopan, berbicara rapi, dan mematuhi aturan meja. Gaya ini menekankan sopan santun dan kontrol emosional. Para penulis mempraktikkan aturan seperti makan tiga kali sehari tanpa camilan berlebihan, serta mendorong anak untuk mencoba berbagai rasa baru layaknya orang dewasa. Mereka juga menerapkan tata krama yang kaku saat bersosialisasi. Ternyata sebagian anak merespons dengan puas karena merasa percaya diri dan jelas akan apa yang diharapkan dari mereka. Namun aturan ketat terasa kurang fleksibel di tengah musim panas. Saat suasana santai, beberapa anak jadi merasa dibatasi dan menolak beberapa instruksi tradisional.
Lanre Bakare mengeksplorasi metode Jerman yang menekankan kebebasan eksplorasi anak. Anak dibiarkan bermain di luar rumah tanpa intervensi berlebihan. Pujian dirasionalisasi agar tidak terlalu sering sehingga tetap berarti. Anak-anak didorong mengeksplorasi lingkungan mereka sehari-hari. Banyak ditemukan taman bermain dan ruang terbuka hijau di setiap wilayah, mendukung pola eksploratif ini. Bakare menemukan bahwa metode ini meningkatkan kemandirian dan rasa percaya diri anak. Mereka jadi mampu mengambil keputusan kecil sendiri. Beberapa orang tua Inggris merasa awalnya sulit karena terbiasa mengintervensi pada setiap situasi. Namun setelah beberapa minggu, mereka mengaku dapat menikmati perkembangan mandiri anak tanpa harus selalu mengawasi.
“Simak juga: Temporary Job, Jalan Pintas Menuju Karier Impian”
Tim Jonze mengambil gaya Hjalli dari Islandia yang merupakan bagian dari Gaya Asuh Eropa yang progresif dan berpandangan ke depan. Model ini mempromosikan lingkungan non-stereotip gender, menggunakan ruang bermain terpisah untuk anak laki-laki dan perempuan. Fokus utamanya adalah menghindari pola stereotip gender sejak dini. Jonze mengelola ruang bermain bagi anak-anak pihak, menerapkan aturan agar mereka bebas memilih mainan maupun kegiatan tanpa batasan gender. Eksperimen ini dianggap menantang nilai-nilai tradisional di Inggris. Tidak semua orang tua bisa menerapkan pembatasan ruang seperti ini dalam jam singkat, tapi idealisme ini memberi bahan diskusi penting tentang kesetaraan sejak usia dini.
Chitra Ramaswamy mengkaji gaya asuh Polandia yang cenderung menekan ekspresi emosi secara terbuka. Orang tua diajarkan untuk menjaga kontrol diri dan membentuk anak yang tenang serta sopan. Gaya ini dianggap cocok bagi anak dengan kebutuhan khusus seperti autisme, atau dalam keluarga LGBT yang mengalami tekanan sosial . Ramaswamy menceritakan pengalaman saat ia menerapkan metode ini pada anak autis. Ia merasa bahwa kontrol emosional membuat suasana rumah lebih stabil, meskipun beberapa keraguan muncul terkait kebutuhan anak untuk mengekspresikan frustasi atau kegembiraan secara alami.
Keseluruhan eksperimen menyoroti bahwa pola asuh sangat dipengaruhi konteks sosial dan budaya. Para penulis menemukan bahwa struktur sosial seperti adanya keluarga besar (Italia) atau perhatian terhadap formalitas (Prancis), serta kebebasan eksploratif (Jerman) sangat dipengaruhi nilai dan norma budaya masing-masing negara . Pengalaman ini menyadarkan bahwa tidak ada satu gaya asuh yang berlaku universal untuk semua keluarga. Setiap keluarga bisa menggunakan metode dari satu budaya yang cocok, memodifikasi elemen lain sesuai kebutuhan mereka, lalu menemukan kombinasi yang paling pas untuk anak mereka. Eksperimen lintas budaya ini juga membuka diskusi lebih dalam tentang peran gender, kontrol emosi, dan peran komunitas dalam membentuk pola asuh. Hasil refleksi menunjukkan orang tua Inggris jadi lebih terbuka terhadap keragaman nilai dan memperkaya wawasan mereka tentang parenting.