ST Francis Luck Now – Membentak anak sering dianggap sebagai cara cepat untuk menghentikan perilaku yang tidak diinginkan. Padahal, tindakan ini bisa meninggalkan luka emosional yang mendalam pada anak sejak usia dini. Anak yang sering dibentak cenderung merasa takut, bingung dan tidak memahami maksud teguran itu sendiri. Saat suara tinggi dan ekspresi marah digunakan, otak anak akan merespons dengan rasa cemas dan tertekan. Proses belajar pun akan terganggu karena anak lebih fokus pada ketakutan dibanding memahami pesan. Dalam jangka panjang, membentak dapat merusak harga diri dan membuat anak merasa tidak dicintai. Komunikasi positif akan terhambat dan hubungan antara orang tua dan anak menjadi renggang. Pengalaman negatif ini bisa terbawa hingga dewasa dan membentuk karakter yang tertutup serta penuh kecemasan.
Membentak anak bukan hanya berdampak sesaat tetapi juga dapat mengganggu perkembangan mental jangka panjang. Anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh teriakan lebih rentan mengalami gangguan kecemasan dan depresi. Respons stres yang terus-menerus diaktifkan akan memengaruhi sistem saraf mereka. Selain itu, perkembangan empati dan pengendalian emosi bisa terganggu karena mereka meniru pola interaksi yang kasar. Anak akan belajar bahwa membentak adalah cara sah untuk menyelesaikan konflik. Ini bisa terbawa ke hubungan sosial mereka di sekolah dan pergaulan. Akibatnya, anak menjadi lebih agresif atau sebaliknya justru menarik diri. Ketidakstabilan emosi ini membuat anak sulit membentuk hubungan yang sehat. Pola ini sangat berbahaya karena membentuk siklus kekerasan verbal dalam keluarga yang sulit dihentikan jika tidak segera disadari.
Tujuan utama orang tua menegur anak tentu untuk mendisiplinkan dan membentuk perilaku baik. Namun ketika pendekatannya menggunakan bentakan, disiplin berubah menjadi teror yang merusak psikologis anak. Anak yang dibentak terus-menerus akan menuruti perintah bukan karena sadar, tapi karena takut. Dalam situasi ini, nilai tanggung jawab tidak tertanam secara alami karena motivasinya berasal dari tekanan. Perasaan takut bisa mengaburkan pemahaman anak terhadap mana yang benar dan salah. Anak pun tumbuh dengan rasa cemas yang berlebihan terhadap figur otoritas. Hal ini bisa mengganggu perkembangan moral dan sosialnya. Dalam kondisi lebih parah, anak bisa mengalami trauma yang menimbulkan ketakutan jangka panjang terhadap komunikasi. Padahal, proses mendidik seharusnya melibatkan pendekatan yang lembut, sabar dan penuh kasih agar nilai-nilai moral tertanam secara alami.
Pendekatan komunikasi yang positif dan penuh empati jauh lebih efektif dibanding membentak anak. Ketika orang tua berbicara dengan nada tenang, anak merasa lebih aman untuk mendengarkan dan memahami pesan yang disampaikan. Anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh pengertian cenderung lebih terbuka dan mudah diarahkan. Komunikasi yang sehat menumbuhkan rasa percaya antara anak dan orang tua. Dalam suasana yang mendukung, anak bisa mengakui kesalahan dan belajar dari pengalaman. Proses belajar menjadi lebih menyenangkan dan tidak mengintimidasi. Hal ini mendorong anak untuk mengembangkan disiplin internal tanpa paksaan. Dengan menghindari bentakan, orang tua juga memberi contoh bahwa masalah bisa diselesaikan dengan dialog. Keteladanan seperti inilah yang akan membentuk karakter anak yang dewasa secara emosional dan bertanggung jawab dalam kehidupannya.
Sebagai pengasuh utama, orang tua memiliki peran besar dalam menciptakan pola komunikasi yang sehat dalam keluarga. Mengelola emosi adalah keterampilan penting yang harus dimiliki agar tidak terjebak dalam perilaku membentak anak. Ketika marah, luapan emosi bisa memicu kata-kata kasar yang meninggalkan luka batin. Oleh karena itu, orang tua perlu belajar mengenali pemicu emosinya sendiri dan mencari cara yang sehat untuk merespons. Misalnya dengan menarik napas dalam-dalam sebelum menegur atau memberi jeda waktu sebelum mengambil tindakan. Latihan mindfulness atau konsultasi ke psikolog juga dapat membantu. Ingat bahwa anak adalah peniru ulung yang akan mengikuti cara orang tua menyampaikan emosi. Dengan menunjukkan pengendalian diri, orang tua tidak hanya menjaga kondisi psikologis anak tetapi juga memberi contoh pengelolaan emosi yang sehat dalam kehidupan sehari-hari.