ST Francis Luck Now – Digital Parenting Gagal ketika teknologi dirancang untuk membuat pengguna tidak lepas dari layar sementara pola asuh di rumah justru longgar. Fenomena ini disebut sebagai digital double standard yang menunjukkan adanya kesenjangan besar antara kendali orang tua dan kekuatan desain platform digital. Dr Justin Coulson, seorang pakar parenting, menyoroti bagaimana remaja kini semakin sulit melepaskan diri dari ketergantungan pada layar. Ia mencatat bahwa meski di rumah orang tua mencoba memberi kebebasan dan kepercayaan, di sisi lain perusahaan teknologi justru menciptakan lingkungan digital yang sangat mengikat. Desain aplikasi, fitur pengingat berulang, dan sistem notifikasi membuat anak terus terpikat. Pola ini membuat banyak orang tua merasa kalah dalam perang pengasuhan. Dalam kondisi ini, perlu kesadaran kolektif untuk mengembalikan keseimbangan agar peran keluarga tetap memiliki kekuatan dalam membentuk kebiasaan anak di era digital.
Remaja saat ini hidup dalam dunia yang hampir seluruhnya terhubung secara digital. Gadget bukan lagi sekadar alat bantu tetapi telah menjadi bagian penting dari gaya hidup mereka. Penggunaan aplikasi sosial, game daring, dan video pendek meningkat secara drastis. Dr Justin Coulson mencatat bahwa durasi penggunaan layar rata-rata meningkat tajam dalam lima tahun terakhir. Bahkan dalam banyak kasus, waktu bersama keluarga telah tergantikan oleh interaksi digital. Ketika anak-anak menghabiskan lebih banyak waktu dengan ponsel daripada dengan orang tua, maka nilai-nilai keluarga pun mulai terpinggirkan. Banyak orang tua tidak sadar bahwa algoritma yang dipakai di berbagai platform digital memang dirancang untuk mempertahankan perhatian pengguna. Pola ini menempatkan anak dalam posisi sulit karena mereka tidak memiliki alat untuk melawan kecanduan yang disusun secara sistematis oleh desain aplikasi.
“Baca juga: Kunci di Usia Dini: Transformasi Anak Autisme Lewat Dukungan Awal”
Dr Justin Coulson mencoba pendekatan berbeda untuk mengurangi dampak ketergantungan digital di keluarganya. Ia mendorong putrinya melakukan digital detox selama dua minggu. Detox dilakukan secara sukarela tanpa tekanan atau larangan mutlak. Dalam waktu singkat, putrinya mulai menunjukkan perubahan perilaku. Ia merasa lebih tenang, mudah fokus, dan mulai menetapkan aturan sendiri dalam menggunakan ponsel. Dari hasil eksperimen tersebut, Coulson menemukan bahwa dengan memberikan ruang dan pemahaman, remaja bisa menyadari pentingnya batasan digital. Tidak semua anak harus dipaksa untuk berhenti, tetapi mereka harus diberi alasan yang kuat dan didampingi. Detox digital yang berhasil ini menunjukkan bahwa pemulihan dari ketergantungan bukan hal mustahil. Terutama jika dilakukan secara bersama-sama antara anak dan orang tua dalam suasana yang suportif dan terbuka.
Salah satu kunci penting dalam digital parenting adalah konsistensi perilaku orang tua sendiri. Dr Coulson menekankan bahwa anak belajar bukan hanya dari nasihat tetapi dari contoh nyata. Ketika orang tua sibuk dengan ponsel saat makan bersama atau saat mengantar anak sekolah, mereka sedang menunjukkan bahwa perilaku itu dapat diterima. Anak akhirnya meniru kebiasaan tersebut dan merasa tidak bersalah ketika melakukan hal serupa. Untuk membangun pengasuhan digital yang sehat, dibutuhkan keteladanan. Momen-momen tanpa gadget di rumah perlu diciptakan secara sadar seperti waktu makan malam, sebelum tidur, atau saat berlibur. Kegiatan keluarga yang melibatkan percakapan langsung juga sangat membantu. Anak yang melihat orang tuanya mampu membatasi diri dari gadget akan memiliki motivasi untuk melakukan hal yang sama tanpa harus dipaksa atau dimarahi.
Meskipun banyak orang tua berusaha menjaga anak-anak mereka dari ketergantungan digital, usaha ini sering berhadapan langsung dengan kekuatan besar dari perusahaan teknologi. Platform-platform tersebut secara sadar merancang sistem yang membuat pengguna bertahan selama mungkin. Fitur seperti scroll tanpa akhir, video otomatis, serta poin dan hadiah digital adalah strategi yang memang dibuat untuk menahan perhatian. Dr Coulson mendesak agar perusahaan teknologi mulai bertanggung jawab terhadap dampak sosial dari produk yang mereka rancang. Ia menyerukan regulasi yang lebih kuat agar desain yang adiktif bisa dibatasi. Ia juga menyarankan agar pengguna diberikan kontrol lebih besar untuk menyesuaikan pengalaman digital sesuai dengan kebutuhan, bukan sekadar mengikuti algoritma. Bila tanggung jawab ini tidak diambil, maka upaya parenting akan terus dikalahkan oleh kekuatan desain yang tidak berpihak pada kesejahteraan anak.